Harsisto Sardjuri
Lahir sebagai keluarga petani
Saya
dilahirkan di Kertosono, pada tanggal 13 Juni 1956 dari pasangan petani
almarhum Sardjuri dan almarhumah Suratemi, sebagai anak ke delapan dari
14 bersaudara. Tak heranlah bila saya akhirnya menyukai kegiatan
bertani. Sewaktu di bangku SMA, kehidupan ekonomi keluarga kami cukup
baik, terbukti dengan kemampuan Ayah membelikan saya sepeda motor yang
ketika itu tergolong relatif mewah di desa kami. Karena merasa
kecukupan, saat itu saya belum mempunyai motivasi yang muluk-muluk
tentang masa depan. Bagi saya, sudah cukup puas bila bisa bekerja
sebagai petani di Kertosono.
Pengalaman tak terlupakan saya alami
saat duduk kelas dua SMA. Karena hasil panen tebu kami cukup berhasil,
maka datanglah lima perampok bersenjata pistol “me-nyatroni” rumah orang
tua kami. Sebagai pemuda penjaga rumah, saya-lah yang terpaksa dan
harus berupaya menggagalkan perompokan tersebut. Perlawanan terhadap
perampok tersebut mengakibatkan saya harus masuk rumah sakit selama
kurang lebih dua minggu, karena saya sempat dikeroyok oleh para
perampok. Kejadian ini membekas pada diri saya mengenai “getir-nya”
menjadi keluarga petani di Indonesia.
Memutuskan untuk merubah arah kehidupan Arah kehidupan
saya
menjadi berubah setelah melihat tetangga depan rumah, yang dengan
gagah, berangkat kuliah ke Surabaya untuk menempuh pendidikan di
Universitas Airlangga. Peristiwa perampokan dan juga pemandangan melihat
“kegagahan” seseorang memasuki dunia perguruan tinggi, membuat saya
bertekad, “Tidak akan bekerja sebagai petani dulu dan akan berkuliah di
perguruan tinggi terbaik di Indonesia”. Niat tersebut saya realisasikan
secara otodidak dengan mengikuti bimbingan tes di IPIEM Surabaya.
Syukur
Alhamdullilah setelah belajar dengan tekun, pada tahun 1977 saya
diterima di lima perguruan tinggi yaitu Jurusam Farmasi di Universitas
Airlangga, Jurusan Teknik Kimia di Universitas Gajah Mada, Fakultas
Teknik Industri di ITB, Jurusan Teknik Sipil di UNS dan Jurusan
Kedokteran di Universitas Brawijaya. Saya-pun akhirnya menjatuhkan
pilihan untuk berkuliah di ITB dan merantau ke kota kembang Bandung.
Terkena hama wereng – terpaksa hidup dengan seribu Rupiah seminggu
Kehidupan
kuliah di ITB saya jalani sejak tahun 1977 hingga 1985. Hampir seluruh
waktu kuliah saya diwarnai suasana keterbatasan. Hal tersebut timbul,
karena merebaknya hama wereng di Indonesia. Cita-cita saya yang semula
ingin mengambil jurusan teknik Mesin atau Teknik Industri terpaksa gagal
dan berbelok menjadi Teknik Pertambangan karena keterbatasan dana.
Kejayaan
keluarga kami selaku petani padi, yang telah dibangun sejak puluhan
tahun, musnah dalam waktu sekejap karena serangan hama wereng pada tiga
periode berturut-turut di penghujung tahun 1977 hingga tahun 1978.
Serangan hama ini sangat dahsyat sehingga memporak-porandakan seluruh
sawah milik keluarga kami. Akibatnya, suplai kebutuhan hidup dan kiriman
uang ke Bandung menjadi macet. Sehingga saya terpaksa harus hidup cukup
dengan uang seribu Rupiah untuk setiap 1 minggu. Kehidupan “survival”
sebagai anak kontrakan bersama Goenarso, Asyikin Abbas, Subekti
Widyanadi, Abdul Mudjib, Budi Susetyo dan Sunandar merupakan sebuah
kehidupan dengan kenangan tersendiri.
Keadaan darurat tersebut memaksa saya harus hidup dengan manajemen makan harian yang cukup “spartan”
yaitu sehari hanya makan nasi dua kali cukup dengan lauk kuah sayur
semata. Alhamdullilah, kakak perempuan nomor dua saya, Yunda Sukarliek,
akhirnya turun tangan mengambil alih tugas orang tua dengan mensuplai
kebutuhan hidup secukupnya.
Namun bantuan ini justru membuat saya
merasa terbebani dan berhutang budi pada kakak saya. Saya menjadi
merasa malu karena di Bandung, saya hanya belajar & belajar. Berbeda
dengan sewaktu saya di Kertosono, disana saya justru bisa membantu
keluarga dengan memberikan nafkah melalui kegiatan bercocok-tanam dan
bertani. Di tengah kekalutan itu, saya tidak berhasil masuk ke jurusan
teknnik mesin, yang saya dambakan, dan akhirnya terpaksa mengambil
jurusan Tambang Metalurgi karena indeks prestasi saya yang tidak
mencukupi.
Memulai usaha sambil bekerja di LIPI
Namun
saya tidak putus asa, selepas sarjana muda, saya mulai membuka usaha di
bidang pertambangan golongan C dengan nama perusahaan PT. Selo Kencono
yang bermarkas di Semarang dengan modal dari kakak, bersama 3 orang
kawan. Maksud dan tujuan membuka usaha tak lain karena keinginan
memperoleh pendapatan untuk membalas budi sang kakak. Pada saat itu
juga, saya mengawali bekerja di Lembaga Metalurgi Nasional – Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia (LMN – LIPI) sebagai tenaga honorer sembari
mengerjakan tugas akhir saya.
Salah
satu keuntungan bekerja di LIPI adalah saya dapat menyelesaikan tugas
akhir tanpa harus mengeluarkan biaya, tetapi justru sebaliknya mendapat
gaji. Pada saat awal wawancara penerimaan sebagai pegawai negeri, saya
memberikan pilihan kepada sang penguji bahwa saya akan bekerja di LIPI
apabila diberi kesempatan berwira-usaha, kalau tidak saya akan
mengundurkan diri. Berwirausaha ini menjadi sangat mutlak karena gaji
yang saya terima dari LIPI sangatlah kecil.
Memulai bisnis bahan galian- meminjam uang ke Bapindo
Saya
berwira-usaha dengan mendirikan PT Selo kencono dan memilih bisnis
galian tambang karena saya belajar ilmu teknik pertambangan. Saya
mengawali bisnis ini dengan menggunakan tenaga manusia, bukan tenaga
mesin, untuk memuat bahan galian C ke atas truk. Saya menyadari
sepenuhnya bahwa keuntungan dengan memakai tenaga manusia relatif lebih
rendah dan memerlukan waktu yang lebih lama bila dibandingkan dengan
memakai mesin. Namun saat itu, saya berpendapatan bahwa cara ini akan
lebih banyak memberikan kesempatan kerja bagi lebih banyak orang. Selain
itu saya juga mempunyai keterbatasan modal untuk membeli alat-alat dan
permesinan.
Sedikit demi sedikit, usaha ini berkembang dan pada
tahun 1985, PT Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo) cabang Semarang
telah menyetujui pemberian pinjaman dana sebesar Rp 150 juta dengan
anggunan 14 buah sertifikat tanah-tanah para petani nntuk mengembangkan
bisnis saya. Saat itupun saya sudah mengantongi ijin pertambangan, dan
operasi proyek sudah relatif mulai berjalan lancar. Saya berpendapat
bahwa dengan pencairan dana pinjaman dari Bapindo maka aktivitas bisnis
peusahaan saya bisa menjadi lebih besar lagi.
Maka, saya saat itu
terus menerus berdo’a, berzikir, sholat tahajud dan puasa sunnah
Senin-Kemis tiada henti-hentinya dengan harapan agar Allah SWT bisa
memudahkan cita-cita saya untuk mengembangkan bisnis galian tambang
tersebut. Namun ternyata menjelang hari ”H” pencairan kredit, kepala
kredit Bapindo Semarang dipindah secara mendadak ke Ambon yang berakibat
pembatalan semua rencana pencairan pinjaman. Kejadian ini pada awalnya
sangat membuat sedih hati saya.
Namun
ternyata di balik kegagalan itu semua, terkuak sebuah hikmah yang tak
disangka-sangka. Karena beberapa tahun kemudian, ekonomi Indonesia
tiba-tiba mengalami krisis moneter. Rupiah mengalami devaluasi dan bunga
bank meroket. Saya akhirnya bersyukur dengan kegagalan pencairan
pinjaman Bapindo tersebut. Saya tidak bisa membayangkan apa yang terjadi
bila Bapindo merealisasikan kreditnya, lalu hutang tersebut tidak
terbayar dan seluruh tanah petani tersita. Saya justru membuat para
petani menjadi lebih miskin dari sebelumnya. Syukur alhamdulilah dibalik
itu semua, ternyata ada hikmah yang tiada tara dari Allah SWT
Bapindo
sendiri akhirnya diterpa berbagai skandal dan relatif bangkrut saat
terjadinya krisis moneter. Bank ini akhirnya di-merger dengan 3(tiga)
Bank pemerintah lainnya menjadi PT Bank Mandiri. Pada tahun 2006, nama
Bank Bapindo akhirnya hanya dipergunakan sebagai nama sebuah gedung di
Jakarta.
Mendapat beasiswa Monbusho dan meneruskan sekolah ke Jepang
Sambil
mengurus bisnis galian tambang dan juga bekerja di LMN LIPI, akhirnya
saya lulus sidang sarjana dan dinyatakan sebagai Insinyur tambang dengan
syarat harus memperbaiki skripsi tugas akhir saya. Hampir bersamaan
dengan saat pelaksanaan sidang sarjana tersebut, saya juga mengikuti
seleksi untuk memperoleh bea siswa melanjutkan kuliah di Luar negeri.
Berkat kasih Allah SWT, saya berhasil lolos seleksi dan diterima untuk
melanjutkan studi di Jerman, Perancis dan Jepang dengan beasiswa dari
Menristek RI.
Namun kesempatan emas yang sudah depan mata itu
sempat mengalami hambatan dari pihak BPPT yang tidak mau mengirimkan
saya karena status pegawai Honorer saya. Berkat perjuangan Direktur
LMN-LIPI akhirnya saya diperbolehkan untuk melanjutkan sekolah. Setelah
diizinkan, saya memilih Jepang, karena negara itu memberikan uang saku
yang lebih besar dari negara-negara lain.
Ternyata
proses seleksi ke Jepang masih terus menghadang, beserta 26 orang calon
lainnya saya harus diuji lagi oleh 13 Professor dari
Jepang.memberangkatkan, berusaha kembali menggagalkan peluang saya. Saya
waktu itu tidak diberi tahu kalau akan ada seleksi dari para Professor,
sehingga saya terpaksa harus mengikuti ujian seleksi tanpa persiapan
apa-apa. Puji syukur alhamdullilah, Allah SWT telah memudahkan, maka
saya bisa lolos bersama 5 orang calon lain berangkat ke Jepang dengan
status binaan Monbusho.
Saya diterima di Universitas yang paling
bergengsi yaitu di Tokyo University (Universitas Tokyo), Fakultas
Teknik, Departemen Metalurgi dibawah tanggungan Menristek RI dan
Monbusho Jepang. Bisnis PT Selo kencono terpaksa dihentikan ditengah
jalan. Pentupan bisnis ini sempat menguras dana yang cukup besar utuk
melunasi hutang-hutang yang selama ini telah dikeluarkan untuk modal
kerja.
Berbeda hasil riset dengan perusahaan raksasa Jepang - Tokyo gas
Saya
tidak menyia-nyiakan waktu di Jepang. sembari training di bidang korosi
dan juga kursus bahasa Jepang, saya meminta kepada Profesor pembimbing
agar diberi kesempatan untuk melakukan riset. Professor tersebut
akhirnya menyarankan untuk melakukan latihan penelitian dengan menguji
ulang penelitian yang telah dipublikasikan oleh tim Tokyo Gas dibawah
pimpinan Dr. Kasahara.
Ternyata dengan prosedur yang sama, hasil
penelitian saya berbeda dengan hasil Tim Tokyo Gas walaupun setelah
penelitian tersebut diulang- ulang. Kemudian bersama profesor pembimbing
dan tim Tokyo Gas, kami melakukan penelitian ulang secara bersama-sama,
ternyata hasil penelitian saya-lah yang benar.
Dari situlah, saya mendapat kepercayaan untuk mengerjakan proyek proyek penelitian tersebut selama 3 tahun dengan judul “Pengendalian korosi pada sistem pendingin AC sentral untuk Stasiun dan jaringan kereta api bawah tanah”.
Dan tema penelitian inilah yang akhirnya dijadikan tema program master dan program doktor saya di Universitas Tokyo.
Mengejar master 2 tahun dan menulis skripsi dengan huruf Kanji
Ternyata
dengan penelitian saya, Universitas Tokyo mendapat berbagai keuntungan
antara lain adanya dana masuk dari Indonesia, juga dana bea siswa
Monbusho serta dana penilitian dari Tokyo Gas.
Sementara
saya mendapat tantangan untuk unjuk kemampuan dalam melakukan
penelitian. Untuk kegiatan tersebut saya rela kerja keras melakukan
penelitian setap hari dari jam 8.30 pagi sampai jam 23.30, yaitu sampai
jadwal terakhir perjalanan kereta api listrik di Tokyo. Setiap tiga
bulan sekali laporan hasil riset tersebut saya sampaikan kepada pihak
Tokyo Gas. Semua suka-duka itu saya jalani dengan baik, dan akhirnya
saya siap untuk maju mempertahankan thesis tersebut dalam sidang master.
Namun
sekali lagi saya kembali mendapat cobaan karena Profesor menghendaki
gelar master saya harus ditempuh dalam kurun waktu 3 tahun. Saya tentu
berontak & menolak kemauan Profesor tersebut karena saya ke Jepang
bukanlah sekedar mencari ijazah tapi mencari ilmu. “Kenapa teman-teman
lain bisa 2 tahun selesai master sementara saya harus 3 tahun ?.”
Demikian pertanyaan saya kepada sang Professor.
Perhitungan saya,
kalau menuruti kemauan Profesor untuk menyelesaikan program master
dalam 3 tahun, yaitu sesuai kontrak riset dengan pihak Tokyo Gas, maka
rencana untuk mendapatkan beasiswa program doktor akan punah. Karena bea
siswa program Doktor dari pemerintah terbatas hanya untuk 5 tahun (2
tahun program Master dan 3 tahun program Doktor). Sang Profesor-pun
akhirnya mengalah dengan syarat bahwa skripsi saya harus ditulis dalam
bahasa kanji. Walaupun sangat sulit dan cukup bersusah-payah,
Alhamdullilah, masalah tersebut akhirnya bisa diatasi dan saya
memperoleh gelar Master.
Melanjutkan program doktor dengan 3 tahun tambahan
Setelah
lulus program master, saya mengikuti ujian masuk program doktor dan
juga mengajukan permohonan beasiswa kepada Menristek RI. Pada saat
mengajukan perpanjangan beasiswa, Saya harus membuat pernyataan yang
direkomendasi Profesor pembimbing. Surat pernyataan tersebut
mengharuskan penyelesaian program doktor dalam waktu 3 tahun.
Walaupun
jangka waktu ini realistik, tapi diam-diam pihak universitas mendapat
tambahan kontrak penelitian dari Tokyo Gas untuk 3 tahun lagi. Ini
berarti total waktu kontrak riset yang harus dilaksanakan Universitas
Tokyo menjadi 6 tahun, sementara keinginan Menristek, jangka waktu
program master plus program doktor hanya terbatas 5 tahun. Inilah awal
dari kericuhan program Doktor saya.
Insiden di Hamamatsu
Menjelang
saya memasuki tahun ketiga program doktor, saya dipercaya menjadi ketua
umum seluruh mahasiswa Indonesia yang kuliah di Jepang (untuk periode
1989~1991). Kebetulan pada suatu hari Sabtu, sebagai ketua umum
Mahasiswa Indonesia, saya mendapat undangan persahabatan
Indonesia-Jepang oleh Rotary Club di Hamamatsu. Pada saat itu, Duta
Besar Indonesia untuk Jepangpun juga menghadiri acara tersebut. Sebuah
acara yang sangat sulit saya tinggalkan. Masalah muncul dengan tidak
hadirnya saya di laboratorium pada hari Sabtu tersebut.
Profesor
saya menjadi sangat marah dan menggunakan kasus tersebut sebagai salah
satu alasan untuk menjadikan program doktor saya dari 3 tahun menjadi 4
tahun. Tentunya saya protes dan tetap memaksakan program doktor hanya 3
tahun sesuai beasiswa Pemerintah Indonesia.. Saya juga utarakan tekad
saya ke sang professor, bahwa saya akan pulang dengan atau tanpa
ijazah doktor. Juga saya sampaikan bahwa sekalipun saya pulang tanpa
gelar doktor, tetapi saya berjanji untuk menjadi profesor yang termuda
dan lebih cepat dari senior-senior lainnya yang lulusan Jepang, dengan
waktu studi yang lebih lama.
Walaupun demikian, saya penuhi
seluruh kewajiban program doktor saya dengan menyusun disertasi dengan
judul yang sama dengan judul thesis master tentang sistem pendingin di
kereta api di Tokyo, “Tanshoko no kyoku bu fushoku kan suru kengkyu”,
yang sudah barang tentu menggunakan huruf kanji. Kemudian saya kembali
ke tanah air tanpa menunggu 4 tahun untuk mempertahankan thesis dan juga
tanpa menunggu keluarnya gelar doktor dari sang Professor yang ingin
mempekerjakan saya.
Kembali ke LIPI yang kacau & ingin pindah ke PLN
Di
Indonesia, ketika saya kembali ke LIPI, ternyata keadaannya kacau. LIPI
adalah tipikal sebuah instansi pegawai negeri. Kerja tidak kerja,
sarjana atau bukan sarjana, semua dipukul rata, artinyatiap awal bulan
pasti akan gajian dengan nilai yang tidak jauh berbeda. Hiduplah saya
dalam budaya pengangguran yang terselubung. Saya-pun sempat berontak
dan berniat untuk pindah ke PLN. Tentunya PLN-pun siap menerima, tetapi
pihak LIPI tidak memberikan izin lolos butuh.
Dengan
pertimbangan yang masak-masak, akhirnya saya urungkan niat untuk keluar
dari LIPI. Alasannya ?. Sekalipun kerja di PLN akan memperoleh gaji
yang lebih tinggi, tetapi suasananya adalah suasana proyek. Padahal
kapasitas saya adalah seorang peneliti dan penulis, keahlian tersebut
tentunya kurang terlalu diperlukan di PLN.
Pada tahun 1995,
saya-pun mencoba menjadi pengurus pusat Golkar sebagai sekretaris
bendahara departemen kerochanian yang bermarkas di Anggrek Neli-Slipi.
Saya terus terang hanya kuat bertahan 3 bulan dan akhirnya terpaksa
keluar karena tidak cocok dengan habitat orang-orang politik.
Menjadi professor riset yang diangkat oleh Presiden Megawati
Setelah
melanglang-buana dan mencoba berbagai aktivitas, akhirnya saya kembali
ke tempat awal karier saya yaitu Pusat penelitian Metalurgi –LIPI. Pada
tahun 1997, saya memantapkan karier di bidang penelitian dengan melalui
jenjang-jenjang fungsionalnya. Hanya dalam jangka waktu kurang dari5
tahun, saya mencapai kapasitas dan telah memenuhi syarat sebagai seorang
Ahli Peneliti Utama (APU) atau yang sekarang dikenal sebagai Professor
riset.
Cobaan muncul lagi dengan diganjalnya pengajuan APU oleh
Kepala Puslit Metalurgi selama 1 tahun dari 2002 hingga 2003. Saya
sempat memikirkan untuk mem-PTUN-kan LIPI karena menghambat pengajuan
ini. Namun akhirnya Kepala LIPI turun tangan dan Kepala Puslit Metalurgi
dipanggil untuk klarifikasi. Esok harinya loloslah usulan APU saya
kepada Presiden RI. Pada bulan September 2003, Syukur Alhamdulilah, saya
dinyatakan sebagai Seorang Professor Riset (APU) bidang Korosi dan
Analisa Kegagalan yang Surat Keputusan-nya ditandatangani oleh Presiden
RI Ibu Megawati Soekarnoputri.
Mencoba menerapkan hasil-hasil penelitian
Setelah
memperoleh gelar Professor Riset, hari-hari saya selanjutnya tak ubah
bak seorang “dukun” atau konsultan pengendalian korosi dan analisa
kegagalan. Pasien-pasien saya antara lain adalah Pembangkit Listrik,
Instalasi kilang minyak dengan jaringan perpipaannya, Pabrik pupuk,
Pabrik kimia dan lain sebagainya. Saya-pun terus aktif membimbing
mahasiswa tugas akhir dari jurusan Mesin, Teknik kimia, Metalurgi,
Teknik lingkungan dan Teknik industri. Hingga saat ini tak kurang dari
100 mahasiswa S-1 maupun S-2 yang telah saya bimbing.
Untuk merealisasikan hasil penelitian, saya mencoba mendirikan bengkel otomotif dengan moto “hasil pengecetan tak kalah dengan produk pabrik”. Namun
karena keterbatasan waktu saya, akhirnya 4 tahun kemudian, bengkel ini
terpaksa saya tutup. Walaupun demikian saya cukup puas karena telah
membuka lapangan kerja dan bisa menciptakan beberapa patent penelitian
antara lain “mesin oven cat yang hemat energi”.
Pada
tahun 1998, untuk menerapkan beberapa penelitian alat-alat pengeringan,
saya juga membuka lahan tidur di belakang perumahan karyawan Puspiptek
dengan luas lahan 10 hektar. Pada tahun berikutnya luas lahan ini
berkembang menjadi 25 hektar. Lahan ditanami pisang kavendis, cabai,
kacang tanah dan jagung manis. Hal ini dipacu dengan naluri saya sebagai
mantan petani dan kondisi krisis moneter kala itu.
Namun karena
lahan tersebut adalah areal tadah hujan dan juga bekas hutan karet yang
miskin hara, maka dalam jangka waktu kira-kita 3 tahun, usaha perkebunan
inipun juga mengalami kegagalan dan terpaksa ditutup.
Memanfaatkan paten-paten yang dimiliki dengan mendirikan PT KIPTI
Walaupun
dengan berbagai kegagalan di dunia bisnis, Allah SWT tetap memberikan
berkah kepada saya. Hal ini terbukti dengan dianugerahinya beberapa
patent kepada saya di bidang pertanian yang diantaranya patent
mesin pengering padi, mesin pengering bahan baku obat-obatan produk
pertanian, alat penanam jagung dan kacang-kacangan, pengering
kopra putih, mesin pembuat tepung ikan dan patent-patent dibidang lain
yang diantaranya Incinerator, bungker submarine dan sistem penambalan
pipa migas.
Pada bulan Maret 2004, untuk memanfaatkan
patent-patent tersebut, saya bersamaa Wimpy Solichin-TI 77 mendirikan
PT. Karya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Indonesia, disingkat PT.KIPTI,
yang bermarkas di Kawasan Puspiptek Serpong. Walaupun masih
tertatih-tatih dan terseok-seok, Alhamdullilah PT.KIPTI masih terus
eksis merintis berbagai pesanan dari BATAN, BPPT, LIPI untuk program
IPTEKDA. Eksisnya PT. KIPTI karena uluran tangan para sahabat antara
lain Nurudin, Zainal Asyikin Abas, Budi Prio Handoko, Suta Vidjaya dan
lain-lain.
Melihat kedepan & berniat membantu petani
Apa
program jangka pendek dan jangka panjang yang ingin saya perjuangakan
dan wujudkan ?. Pertama tama adalah ibadah di jalan Allah dengan
implementasi IPTEK di bidang Pertanian untuk pemberdayaan petani. Pada
tahun 2006 menuntaskan produksi mesin pengering padi, tahun 2007
mewujudkan incenerator sampah kota dan tahun tahun berikutnya akan
mengimplementasikan patent-patent yang saya miliki. Program jangka
panjang dengan pemberdayaan kelompok petani jarak pagar untuk
biodiselpun sedang saya rintis.
Kita sadar betul,”Tiada daya dan kekuatan selain milik Allah SWT”, maka atas kehendakNYA-lah saya dan kawan-kawan bisa berbuat sesuatu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar